logo web

Sinopsis & Review The Science of Fiction, Film Penuh Semiotika

Ditulis oleh Sri Sulistiyani
The Science of Fiction
4.3
/5
showpoiler-logo
PERHATIAN!
Artikel ini mengandung spoiler mengenai jalan cerita dari film/drama ini.

Salah satu teori konspirasi yang cukup banyak dibahas orang-orang adalah mengenai pendaratan pertama di bulan. Lalu bagaimana jika pendaratan di bulan tersebut memanglah sebuah kebohongan dan semuanya hanya direkam di sebuah desa di daerah Jawa?

Hal inilah yang yang menjadi awal cerita dalam film The Science of Fiction, dimana kita akan melihat bagaimana kisah konspirasi dan pembungkaman lewat bentuk-bentuk semiotika yang ditampilkan. Penasaran seperti apa ceritanya? Berikut sinopsis dan review-nya!

Sinopsis

the-science-of-fiction-1_

Film drama berdurasi 105 menit ini diawali dengan adegan saat seorang pria bernama Siman melihat dengan mata kepalanya sendiri para aktor yang tengah melakukan proses syuting pendaratan di bulan. Hal tersebut terjadi di desanya yang berada di daerah Jawa Tengah.

Namun setelah itu diceritakan jika lidah Siman dipotong agar ia tetap bungkam mengenai fakta yang dilihatnya tersebut.

Semenjak peristiwa itu, Siman mencoba bergerak dengan gerakan lambat seolah dirinya berada di bulan yang tak memiliki gravitasi. Seorang dukun yang bernama Ndapuk kemudian datang ke rumahnya dan mengatakan jika Siman sudah tak waras dan tak bisa kembali normal lagi. Hal tersebut membuat ibu Siman depresi hingga memilih untuk bunuh diri.

Setelah ibunya meninggal dunia, Siman masih berperilaku seperti astronot dengan gerak lambatnya. Saat itu diketahui jika peristiwa itu terjadi pada sekitar tahun 1966. Seluruh warga desa yang dianggap terlibat dengan kegiatan PKI ditangkap dan dibunuh, termasuk Ndapuk.

Ndapuk sempat bersembunyi di rumah Siman dan mengatakan jika dirinya hanya mengaku-ngaku sebagai dukun.

Hal itu justru membuat Ndapuk dianggap berbahaya sehingga ikut ditangkap dengan para terduga PKI. Setelah itu, setting waktu kemudian beralih ke masa kini, dengan Siman yang tidak menua. Siman yang bekerja sebagai kuli angkut di pasar masih konsisten dengan gerak lambatnya. Ia juga sudah pindah dari rumahnya ke rumah barunya yang dibuat mirip seperti roket.

Siman memiliki teman bernama Wanto yang berprofesi sebagai penjahit. Ia juga meminta Wanto membuatkannya sebuah jaket yang mirip dengan baju astronot. Namun Wanto justru membohongi Siman dan membawa kabur tabungan milik Siman. Uniknya saat Siman marah dan mencari Wanto, Siman tak melakukan gerak lambat dan berperilaku seperti orang normal.

Adegan kemudian beralih dengan Siman yang ditawari bergabung dengan kelompok jatilan pimpinan Tupon dan asistennya, Gun. Uniknya, pemeran Tupon adalah pemeran Ndapuk dan pemeran Gun adalah pemeran Wanto, namun keduanya tampak memerankan sosok yang berbeda.

Siman pun beberapa kali ikut tampil bersama kelompok jatilan itu dan berperan sebagai astronot.

Selain menjadi pemain kelompok jatilan, Siman juga ditawari bekerja di pabrik besi milik seorang kaya raya bernama Jumik. Pekerjaan itu membuat Siman bisa mendatangi pabrik besi dengan teknologi canggih yang membuatnya kagum

Suatu hari, Jumik meminta Siman untuk tampil di acara ulang tahun pernikahan adiknya. Namun saat selesai tampil, Siman tidak dibayar.

Hal itu juga membuat Siman kecewa dan berjalan selayaknya orang normal. Siman kemudian kembali bergabung dengan kelompok jatilan.

Pada satu perjalanan, Siman bertemu gadis pelacur bernama Nadiyah dan membayarnya untuk tidur bersama. Keesokan harinya setelah berpisah, Siman kembali mencari Nadiyah dan melecehkannya hingga membuat Nadiyah marah.

Waktu berlalu, Siman masih terus melakukan kegiatan seolah ia adalah astronot yang berjalan di luar angkasa. Di rumahnya yang seperti roket, Siman juga selalu mengenakan baju astronotnya. Hal itu kini menjadi tontonan bagi anak-anak dan warga sekitar. Mereka sering kali datang dan memotret Siman yang tampak berperilaku seperti astronot.

Penuh Pesan Tersirat dan Makna Semiotika

the-science-of-fiction-2_

Film The Science of Fictions bisa dibilang memiliki alur cerita yang cukup berat. Setiap adegan dari film ini seolah memiliki pesan-pesan tersirat yang dipenuhi dengan semiotika. Sang sutradara tampaknya juga mempersilahkan para penontonnya menarik kesimpulan sendiri mengenai makna-makna yang ia tampilkan di sepanjang film ini.

Misalnya saja kisah mengenai Siman yang dipotong lidahnya, hal ini tampaknya bermakna bahwa orang-orang biasa seperti Siman terbiasa dibungkam oleh para pihak yang dianggap berkuasa agar tak bisa mengungkap aspirasi mereka.

Siman yang bertahun-tahun mencoba mengungkap hal tersebut dengan gerak lambatnya juga bisa bermakna mengenai betapa sulitnya mengungkap kebenaran.

Semiotika lainnya dari film ini adalah munculnya kamera di berbagai scene, mulai dari kamera jadul, handycam, hingga kamera smartphone seperti saat ini.

Munculnya kamera yang tampak menjadi poin penting ini seolah ingin menyampaikan pesan bahwa ada banyak kebenaran atau pun kebohongan yang dipercaya publik dan terus dikonsumsi dari zaman ke zaman.

Akting Para Pemain yang Luar Biasa

the-science-of-fiction-3_

Sebagai pemain utama, Gunawan Maryanto begitu totalitas memerankan karakter Siman, meski pun karakter ini sama sekali tak memiliki dialog dari awal hingga akhir film.

Gerak lambat yang dilakukannya pun tampak nyata, seolah Siman benar-benar berada di bulan yang tak memiliki gravitasi. Melihat Siman bergerak lambat, kita pun akan ikut terlarut seolah semuanya ikut melambat.

Selain Gunawan Maryanto, para aktor dan aktris pendukung lainnya pun mampu memberikan akting yang tampak begitu natural.

Uniknya, ada beberapa aktor yang memainkan dua karakter di film ini, seperti karakter Ndapuk dan Tupon serta Wanto dan Gun yang diperankan oleh aktor yang sama, namun keduanya diceritakan sebagai tokoh yang berbeda.

Lagi-lagi penonton seolah diajak untuk menarik kesimpulan sendiri mengenai hal ini. Bisa jadi maksud dari para aktor yang memainkan dua peran berbeda ini memiliki maksud bahwa setiap orang di sekitar kita bisa saja memiliki dua peran dalam hidup dan hanya mereka yang tahu peran manakah yang merupakan karakter asli mereka.

Visual yang Unik dan Bermacam-Macam

the-science-of-fiction-4_

Bukan hanya alur ceritanya saja, visual dan sinematografi dari film The Science of Fiction ini juga cukup unik dan menarik untuk ditelaah. Film ini memiliki dua format warna, yaitu format hitam putih yang digunakan saat film menceritakan setting waktu tahun 1966 dan format berwarna yang digunakan saat film menceritakan setting waktu di masa kini.

Selain format warna, hal mencolok lainnya dari sinematografi film ini adalah penggunaan aspek rasionya. Beberapa scene menggunakan aspek rasio full screen sementara scene lainnya mengunakan aspek rasio wide screen. Tampaknya perbedaan aspek rasio ini juga digunakan untuk menginformasikan latar waktu terjadinya adegan tersebut.

Itulah review dari film The Science of Fiction, sebuah film yang mengisahkan tentang pengungkapan kebenaran yang penuh dengan simbol semiotika.

Bisa dibilang, film ini menjadi film yang cukup berbeda dengan kebanyakan film Indonesia lain. Dengan ceritanya yang cukup berat dan tempo lambat, pastikan kamu fokus mengikuti jalan ceritanya supaya bisa menarik kesimpulanmu sendiri ya!

Apakah kamu sudah selesai menonton film ini dan memiliki kesimpulan sendiri dari setiap adegan dan semiotika yang ditampilkan? Coba ceritakan kesimpulan film ini dari versimu di kolom komentar ya!

cross linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram